Ahmad Petuah berjanji akan menghimpun sebanyak mungkin
wartawan untuk membendung arus liberalisasi di Indonesia melalui media massa
dan buku-buku. Hanya saja, ia mengusulkan agar Kiai Rois memelopori penanggulangan liberalisasi melalui proyek
Pendidikan Tinggi, khususnya dalam bentuk Ma'had Aly, agar dari
lembaga itu bisa dilahirkan para ulama lagi.
"Ironis sekali. Di masa penjajahan Belanda dulu,
banyak pesantren bisa melahirkan ulama-ulama yang berkualitas pemimpin umat,
baik secara keilmuan maupun secara sosial, bahkan secara politik," jelas
Ahmad Petuah. "Tetapi sekarang," lanjut Ahmad, "Di masa
kemerdekaan, justru hampir tidak ada pesantren yang mampu melahirkan
ulama-ulama berkualitas pewaris Nabi. Ini tidak boleh dibiarkan. Oleh karena
itu, saya mohon, Pak Kiai Rois dan Pak Kiai lainnya segera berusaha keras
menyiapkan benteng besar dari arus liberalisasi ini. kita
harus punya minimal satu pusat kaderisasi ulama yang berkualitas internasional."
"...Untuk itu, saya serahkan kepemimpinan pesantren
ini kepada Rahmat. Sudah saatnya anak-anak muda
potensial seperti Rahmat ini kita percayai untuk memimpin.
Tantangan liberalisme dan lain-lain semakin berat ke depan. Itu memerlukan pemikiran dan tenaga-tenaga muda yang
cemerlang dan cekatan untuk menanggulanginya. Kami yang tua-tua akan
'mandito', mendalami ilmu lagi, dan terus mengawal proses perubahan....."
Tiba-tiba terdengar pekik tangis Rahmat.
"Itu tidak mungkin, Pak Kiai.... Pak Kiai jangan
meninggalkan kami. Bagaimana pesantren ini tanpa Pak Kiai? Mohon Pak Kiai
jangan meninggalkan kami," suara Rahmat terdengar pilu bercampur isak
tangis. Para tamu pun mulai menitikkan air mata, satu per satu.
"Ya, Pak Kiai Rois, apa sudah dipertimbangkan masak-masak.
Pesantren ini sudah berkembang, dan tidak bisa dipisahkan dari nama Kiai
Rois," kata Kiai Amin.
"Itu tradisi kita yang salah, Kiai Amin. Pesantren
ini bukan milik saya. Ini milik umat. Ini wakaf umat. Kita
harus berani memberikan kepercayaan kepada kader-kader kita untuk tampil dan
mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan. Kita yang tua-tua
berkesempatan menambah ilmu dan menguatkan ibadah kita kepada Allah, sambil
terus memberikan masukan dan bimbingan jika diperlukan."
"Tetapi, saya belum sanggup, Pak Kiai. Saya masih
terlalu muda," sahut Rahmat.
"Rahmat, kalau kamu tidak sanggup dan berani memikul
tanggung jawab kepemimpinan ini, berarti saya gagal mendidik kamu. Saya tahu
kemampuan kamu. In syaa Allah kamu bisa. Sekarang ini sudah saatnya. Ingat
dulu, banyak Kiai yang memimpin pesantren umur belasan tahun. Kamu jauh lebih
hebat dari mereka-mereka itu. yang dituntut sekarang adalah keberanian dan
kebijakan. Itu akan kamu peroleh, in syaa Allah, sejalan dengan aktivitas yang
kamu jalankan. Sudah, kamu harus yakin karena saya yakin kamu mampu. Amanat ini
jangan kamu sia-siakan!"
---Kemi 3, hlm 263-264
