Lima, enam tujuh
delapan..
satu, dua, tiga,
empat, lima enam tujuh delapan..
Riuh rendah suara
kami menggema. Tujuh orang tertunjuk tengah memandu kegiatan senam pagi ini. Gerakan
tangkas serta garis wajah sumringah mereka berhasil menyulut semangat kami juga
akhirnya.
Ah kawan, sekian
kali aku mengikuti senam, sekian kali pula aku sadar, dan sekian kali pula aku
bersyukur. Ya, sejak dulu kegiatan satu ini selalu saja ber-oh.
Senam menuntut
ketrampilan psikomotorik, dan oh, betapa lemahnya aku di materi itu. Tak peduli
puluhan orang di sekitarku bisa mengikuti seluruh gerakan dengan gemulainya,
tetap saja aku tak paham, tak bisa mengikuti, apalagi mengimbangi. Dan ini
bukan karena aku tak belajar atau memperhatikan. Dari privat hingga slow
motion, semua sudah kucoba. Namun tetap, setiap tambah satu gerakan, hilang
pula ke-reflek-an tubuhku melakukan gerakan sebelumnya. Betapa payahnya.!
Dari sinilah aku
lalu paham. Tentang bagaimana bisa seseorang dengan mudahnya lupa materi ajar
yang barusaja diterangkan. Tentang seseorang yang hampir bisa dikatakan ‘tidak
ada hasilnya’ meski telah berhari-hari ia belajar. Tentang bagaimana satu
kaidah belum juga bisa hafal di luar kepala meski telah berpuluh kali
mengulang. Tentang betapa berat fikir kita mencerna tak peduli berpuluh orang
mengatakan ini gampang. Oh Allah, ternyata begini rasanya.
Lima, enam tujuh
delapan
Pelatih kami
menambah satu gerakan lagi. Orang-orang di sekitarku merasa belum panas
sedikitpun, namun keringat sudah sejak tadi mengucur di leherku. Mataku terpaku
memperhatikan diiringi gerak tubuhku yang berusaha mengikuti. Sementara otakku
tak habis pikir, bagaimana bisa dua tangan, dua kaki, dan kepala dikendalikan
di waktu yang bersamaan ?!?! dan lagi, tak peduli aku tetap tak bisa, tak
peduli tak akan ada banyak yang berubah, aku terus mencobanya.
Lagi-lagi aku
tersentak. Oh. Ini dia. Kenapa mereka yang susah dalam materi tak kunjung
lelah, tak pernah berhenti belajar, meski ia tahu, tak akan ada yang banyak
berubah.
Ayo, semangat. Ini
gerakan terakhir. Lima, enam, tujuh delapan.
Sebagian besar
dari kami sudah mulai bosan. Tapi aku tetap semangat. Tak sedikitpun rasa malu,
capek, pun sesal meski aku tak bisa dengan baik mengikuti seluruh gerakan. Ya,
karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku mampu. Aku memang tak bisa
mengikuti seluruh gerakan itu, tapi setidaknya aku bisa mengeluarkan keringat
pagi ini _dan ini esensinya. Karena aku tahu, aku tak sia-sia. Seperti ember bocor
yang dipakai untuk menampung air. Terlihat tak berguna memang, tapi toh air-air
itu bisa membuat si ember bersih.
Oh. Ternyata ini
rahasianya. Kenapa mereka yang tak bisa meraih nilai tinggi, meski dengan usaha
maksimal mereka, tak pernah sedikitpun merasa kecewa pun menyesal. Karena mereka
tahu, usaha mereka tak akan pernah sia-sia. Karena hakikatnya, substansinya
memang bukan terletak pada nilai, melainkan proses.
Oh Allah, terima
kasih. Dengan ini aku belajar dan paham.