Jumat, 26 Agustus 2016

# oh, begini ternyata



Lima, enam tujuh delapan..
satu, dua, tiga, empat, lima enam tujuh delapan..
Riuh rendah suara kami menggema. Tujuh orang tertunjuk tengah memandu kegiatan senam pagi ini. Gerakan tangkas serta garis wajah sumringah mereka berhasil menyulut semangat kami juga akhirnya.
Ah kawan, sekian kali aku mengikuti senam, sekian kali pula aku sadar, dan sekian kali pula aku bersyukur. Ya, sejak dulu kegiatan satu ini selalu saja ber-oh.
Senam menuntut ketrampilan psikomotorik, dan oh, betapa lemahnya aku di materi itu. Tak peduli puluhan orang di sekitarku bisa mengikuti seluruh gerakan dengan gemulainya, tetap saja aku tak paham, tak bisa mengikuti, apalagi mengimbangi. Dan ini bukan karena aku tak belajar atau memperhatikan. Dari privat hingga slow motion, semua sudah kucoba. Namun tetap, setiap tambah satu gerakan, hilang pula ke-reflek-an tubuhku melakukan gerakan sebelumnya. Betapa payahnya.!
Dari sinilah aku lalu paham. Tentang bagaimana bisa seseorang dengan mudahnya lupa materi ajar yang barusaja diterangkan. Tentang seseorang yang hampir bisa dikatakan ‘tidak ada hasilnya’ meski telah berhari-hari ia belajar. Tentang bagaimana satu kaidah belum juga bisa hafal di luar kepala meski telah berpuluh kali mengulang. Tentang betapa berat fikir kita mencerna tak peduli berpuluh orang mengatakan ini gampang. Oh Allah, ternyata begini rasanya.

Lima, enam tujuh delapan
Pelatih kami menambah satu gerakan lagi. Orang-orang di sekitarku merasa belum panas sedikitpun, namun keringat sudah sejak tadi mengucur di leherku. Mataku terpaku memperhatikan diiringi gerak tubuhku yang berusaha mengikuti. Sementara otakku tak habis pikir, bagaimana bisa dua tangan, dua kaki, dan kepala dikendalikan di waktu yang bersamaan ?!?! dan lagi, tak peduli aku tetap tak bisa, tak peduli tak akan ada banyak yang berubah, aku terus mencobanya.
Lagi-lagi aku tersentak. Oh. Ini dia. Kenapa mereka yang susah dalam materi tak kunjung lelah, tak pernah berhenti belajar, meski ia tahu, tak akan ada yang banyak berubah.

Ayo, semangat. Ini gerakan terakhir. Lima, enam, tujuh delapan.
Sebagian besar dari kami sudah mulai bosan. Tapi aku tetap semangat. Tak sedikitpun rasa malu, capek, pun sesal meski aku tak bisa dengan baik mengikuti seluruh gerakan. Ya, karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku mampu. Aku memang tak bisa mengikuti seluruh gerakan itu, tapi setidaknya aku bisa mengeluarkan keringat pagi ini _dan ini esensinya. Karena aku tahu, aku tak sia-sia. Seperti ember bocor yang dipakai untuk menampung air. Terlihat tak berguna memang, tapi toh air-air itu bisa membuat si ember bersih.         
Oh. Ternyata ini rahasianya. Kenapa mereka yang tak bisa meraih nilai tinggi, meski dengan usaha maksimal mereka, tak pernah sedikitpun merasa kecewa pun menyesal. Karena mereka tahu, usaha mereka tak akan pernah sia-sia. Karena hakikatnya, substansinya memang bukan terletak pada nilai, melainkan proses.
Oh Allah, terima kasih. Dengan ini aku belajar dan paham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar