Kamis, 10 November 2016
Senin, 03 Oktober 2016
# 'x'
Percayalah 'x'...
tak peduli jatahmu hanya separuh halaman di kamus besar bahasa indonesia,
tak peduli peranmu hanya seper-seratus dibanding 'a',
tak peduli meski 'ks' bisa menyejajari posisimu..
tapi percayalah, tanpamu abjad latin tak akan lengkap
tanpamu peran organ tumbuhan paling urgen tak akan bernama _xilem_
sungguh, percayalah.
kau ada, dan berharga !
tak peduli jatahmu hanya separuh halaman di kamus besar bahasa indonesia,
tak peduli peranmu hanya seper-seratus dibanding 'a',
tak peduli meski 'ks' bisa menyejajari posisimu..
tapi percayalah, tanpamu abjad latin tak akan lengkap
tanpamu peran organ tumbuhan paling urgen tak akan bernama _xilem_
sungguh, percayalah.
kau ada, dan berharga !
#itu abi !
Jika ada
orang yang bertanya, siapa sosok terpandai yang pernah kau temui?
Maka aku
akan menjawab, tanpa ragu, "itu abi, itu ayahku!"
Bukan
karena segudang prestasi yang pernah beliau raih. Tapi karena di mataku, hanya
beliau lah yang bisa menjawab semua tanya. Tanpa kuragukan keshahihannya, meski
entah dengan rumus apa beliau menjawabnya. Dulu, aku seringkali heran bagaimana
bisa beliau menjawab sebegitu bejibun pertanyaan, bahkan yang tak rasional
sekalipun.
Ah,
agaknya naluri kepoku saat kecil itulah masalahnya. Membuat jiwa keabiannya
tertuntut untuk bisa mempersembahkan jawaban terbaik, demi melihat mulut
membundar dan mata mengerjap dari putri kecilnya, "oo.. gitu ya
bi.."
Maka,
saat aku mulai beranjak, saat dunia yang ku temui mengenalkanku pada berbagai
macam manusia dengan segala kepandaian yang mereka punya, mindsetku
tetap sama, tidak goyah, tidak berubah, abi adalah yang paling pintar.
Tak peduli bagaimana susahnya abi menghafal dua ayat dari surat pendek, tak
peduli abi yang seringkali menyebut biru dengan hijau, tak peduli aku harus
berpuluh kali mengajarkannya tutorial mengetik sms. Sungguh, abi adalah yang
paling pintar.
Jumat, 26 Agustus 2016
# oh, begini ternyata
Lima, enam tujuh
delapan..
satu, dua, tiga,
empat, lima enam tujuh delapan..
Riuh rendah suara
kami menggema. Tujuh orang tertunjuk tengah memandu kegiatan senam pagi ini. Gerakan
tangkas serta garis wajah sumringah mereka berhasil menyulut semangat kami juga
akhirnya.
Ah kawan, sekian
kali aku mengikuti senam, sekian kali pula aku sadar, dan sekian kali pula aku
bersyukur. Ya, sejak dulu kegiatan satu ini selalu saja ber-oh.
Senam menuntut
ketrampilan psikomotorik, dan oh, betapa lemahnya aku di materi itu. Tak peduli
puluhan orang di sekitarku bisa mengikuti seluruh gerakan dengan gemulainya,
tetap saja aku tak paham, tak bisa mengikuti, apalagi mengimbangi. Dan ini
bukan karena aku tak belajar atau memperhatikan. Dari privat hingga slow
motion, semua sudah kucoba. Namun tetap, setiap tambah satu gerakan, hilang
pula ke-reflek-an tubuhku melakukan gerakan sebelumnya. Betapa payahnya.!
Dari sinilah aku
lalu paham. Tentang bagaimana bisa seseorang dengan mudahnya lupa materi ajar
yang barusaja diterangkan. Tentang seseorang yang hampir bisa dikatakan ‘tidak
ada hasilnya’ meski telah berhari-hari ia belajar. Tentang bagaimana satu
kaidah belum juga bisa hafal di luar kepala meski telah berpuluh kali
mengulang. Tentang betapa berat fikir kita mencerna tak peduli berpuluh orang
mengatakan ini gampang. Oh Allah, ternyata begini rasanya.
Lima, enam tujuh
delapan
Pelatih kami
menambah satu gerakan lagi. Orang-orang di sekitarku merasa belum panas
sedikitpun, namun keringat sudah sejak tadi mengucur di leherku. Mataku terpaku
memperhatikan diiringi gerak tubuhku yang berusaha mengikuti. Sementara otakku
tak habis pikir, bagaimana bisa dua tangan, dua kaki, dan kepala dikendalikan
di waktu yang bersamaan ?!?! dan lagi, tak peduli aku tetap tak bisa, tak
peduli tak akan ada banyak yang berubah, aku terus mencobanya.
Lagi-lagi aku
tersentak. Oh. Ini dia. Kenapa mereka yang susah dalam materi tak kunjung
lelah, tak pernah berhenti belajar, meski ia tahu, tak akan ada yang banyak
berubah.
Ayo, semangat. Ini
gerakan terakhir. Lima, enam, tujuh delapan.
Sebagian besar
dari kami sudah mulai bosan. Tapi aku tetap semangat. Tak sedikitpun rasa malu,
capek, pun sesal meski aku tak bisa dengan baik mengikuti seluruh gerakan. Ya,
karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku mampu. Aku memang tak bisa
mengikuti seluruh gerakan itu, tapi setidaknya aku bisa mengeluarkan keringat
pagi ini _dan ini esensinya. Karena aku tahu, aku tak sia-sia. Seperti ember bocor
yang dipakai untuk menampung air. Terlihat tak berguna memang, tapi toh air-air
itu bisa membuat si ember bersih.
Oh. Ternyata ini
rahasianya. Kenapa mereka yang tak bisa meraih nilai tinggi, meski dengan usaha
maksimal mereka, tak pernah sedikitpun merasa kecewa pun menyesal. Karena mereka
tahu, usaha mereka tak akan pernah sia-sia. Karena hakikatnya, substansinya
memang bukan terletak pada nilai, melainkan proses.
Oh Allah, terima
kasih. Dengan ini aku belajar dan paham.
Jumat, 19 Agustus 2016
#mereka adalah kita
Musholla itu tidak luas, namun banyaknya penduduk kampung yang rutin menyambanginya tiap kali waktu sholat tiba, memberi kesan bahwa bangunan kecil nan sederhana itu begitu hidup. dan bersahaja.
"wa laqod zayyannas samaa'ad dun_ya bi mashoobiiha..."
Lantunan ayat-ayat Alqur'an yang jauh dari fasih itu terdengar begitu merdu di telinga kami. Malam ini, seperti pekan-pekan sebelumnya, aku dan seorang kawan menyambangi musholla itu, mendiktekan ayat-ayat Allah di depan para jama'ah. Keutamaan surat Al-Mulk yang baru saja ku paparkan menambah semangat para jama'ah untuk menyimak.
Kajian pekanan selepas Maghrib ini telah berjalan hampir satu tahun, jama'ah kami tak banyak, hanya segelintir ibu-ibu (atau mbah-mbah lebih tepatnya) yang berasal dari sekitar musholla. Namun guratan-guratan keriput dan mata-mata lelah mereka tak sebanding dengan tekad dan semangat mereka mempelajari Alqur'an, terlebih saat lisan-lisan kaku itu berusaha mengikuti bacaan yang ku perdengarkan.
Sejujurnya, tak jarang kami merasa ogah tiap kali jadwal pakanan ini tiba. Namun, senyum-senyum tulus dan wajah-wajah sumringah yang menyambut kami sesampai kami di musholla itu melahap habis rasa ogah kami. Berganti dengan semangat dan rasa ingin berbagi yang membara.
Dan aku belajar, bahwa
tak ada rasa yang tak berbalas. dengan apa kita mengutarakannya, dengan itu pula seseorang menerimanya.
entah saat kita menulis, berbicara, atau menepuk pundak seseorang.
kalimat sederhana, bahasa yang biasa, bahkan tepukan ringan, akan berbeda maknanya jika ianya berasal dari ketulusan.
dan yakinlah, energi yang kita ingin bagi melalui hal-hal kecil itu, akan tersampaikan pada siapa saja yang menerimanya.
seperti energi yang senantiasa diberikan oleh para mbah yang bisa melenyapkan ogah kami, dan mengajak kami untuk berbagi senyum yang sama.
# T_T
Wahai Robb, selamatkanlah penduduknya dan lindungilah tempat masuk dan keluar mereka
Jagalah negeri-negeri kaum muslimin dari segala keburukan dari kanan dan kiri mereka
Mereka adalah orang-orang lemah… tidak ada mereka miliki selain Engkau ya Allah dalam setiap bencana
Mereka selalu berpegang teguh kepada agama-Mu dan darah mereka menjadi wewangian di setiap jengkal tanah
Mereka mengangkat telapak tangan seraya merendahkan diri di setiap kesusahan dan kegoncangan
Wahai Robb jagalah kehormatan dan jiwa mereka dari setiap kejahatan pembunuh
Rabu, 03 Agustus 2016
#putih abu
Tangis biarkan ia ada, memadu simpul tawa
Kisah kasih persahabatan kita
Biarkan, cerita itu ada
Sembari kamu bisa, slalu dalam ridho-Nya
Bila masanya belum tiba, aku kan slalu ada
Kita untuk slamanya
_20913, 3A
#gila tabdzir
Semua umat muslim tau, bahwa di Alqur’an sudah
jelas-jelas dijelaskan,
“Sesungguhnya orang-orang yang tabdzir adalah kawannya
setan, dan setan adalah kufur terhadap Rabbnya.”
Ya, ini tentang kemubadziran.
Jika ini menyangkut pribadi, maka itu jelas. Sang pelaku
lah objek ayat tadi.
Namun, berkali aku dipusingkan. Bagaimana jika itu
terjadi dalam suatu komunitas?
Di pesantren misalnya.
Bagaimana jika ada banyak nasi yang terbuang, sayur yang
tak termakan, dan lauk yang terabaikan, hanya karena tak cocok pada menu itu?
Bu dapur kah yang menjadi tersangka ?
Atau yayasan yang membelanjakan ?
Atau dosa itu menjadi tanggungan bersama seluruh penghuni
pesantren ?!
Sungguh, aku tak tahu, dan memang belum mencari tahu.
Namun hematku, setidaknya untuk saat ini,
Apapun yang disediakan oleh dapur, itu adalah untukku,
untuk kita, sebagai santri
Dan pada masakan itu, kita punya hak, sekaligus kewajiban
untuk memakannya, apapun itu, selama baik
Maka, demi memenuhi kewajibanku, kewajiban kita, demi
pertanggung jawaban kita di sisi Nya
Meski mungkin tak bisa sepenuhnya meghilangkan tabdzir
yang kerap kali terjadi, tapi setidaknya aku, kita, telah mengambil yang
menjadi hak kita, sekaligus melakukan kewajiban kita disana
Dan sisanya, semoga Allah mengampuni.
Langganan:
Komentar (Atom)


