Senin, 03 Oktober 2016

# 'x'

Percayalah 'x'...
tak peduli jatahmu hanya separuh halaman di kamus besar bahasa indonesia,
tak peduli peranmu hanya seper-seratus dibanding 'a',
tak peduli meski 'ks' bisa menyejajari posisimu..

tapi percayalah, tanpamu abjad latin tak akan lengkap
tanpamu peran organ tumbuhan paling urgen tak akan bernama _xilem_

sungguh, percayalah.
kau ada, dan berharga !

#itu abi !

Jika ada orang yang bertanya, siapa sosok terpandai yang pernah kau temui?
Maka aku akan menjawab, tanpa ragu, "itu abi, itu ayahku!"

Bukan karena segudang prestasi yang pernah beliau raih. Tapi karena di mataku, hanya beliau lah yang bisa menjawab semua tanya. Tanpa kuragukan keshahihannya, meski entah dengan rumus apa beliau menjawabnya. Dulu, aku seringkali heran bagaimana bisa beliau menjawab sebegitu bejibun pertanyaan, bahkan yang tak rasional sekalipun.

Ah, agaknya naluri kepoku saat kecil itulah masalahnya. Membuat jiwa keabiannya tertuntut untuk bisa mempersembahkan jawaban terbaik, demi melihat mulut membundar dan mata mengerjap dari putri kecilnya, "oo.. gitu ya bi.."


Maka, saat aku mulai beranjak, saat dunia yang ku temui mengenalkanku pada berbagai macam manusia dengan segala kepandaian yang mereka punya, mindsetku tetap sama, tidak goyah, tidak berubah, abi adalah yang paling pintar. Tak peduli bagaimana susahnya abi menghafal dua ayat dari surat pendek, tak peduli abi yang seringkali menyebut biru dengan hijau, tak peduli aku harus berpuluh kali mengajarkannya tutorial mengetik sms. Sungguh, abi adalah yang paling pintar.    

Jumat, 26 Agustus 2016

# oh, begini ternyata



Lima, enam tujuh delapan..
satu, dua, tiga, empat, lima enam tujuh delapan..
Riuh rendah suara kami menggema. Tujuh orang tertunjuk tengah memandu kegiatan senam pagi ini. Gerakan tangkas serta garis wajah sumringah mereka berhasil menyulut semangat kami juga akhirnya.
Ah kawan, sekian kali aku mengikuti senam, sekian kali pula aku sadar, dan sekian kali pula aku bersyukur. Ya, sejak dulu kegiatan satu ini selalu saja ber-oh.
Senam menuntut ketrampilan psikomotorik, dan oh, betapa lemahnya aku di materi itu. Tak peduli puluhan orang di sekitarku bisa mengikuti seluruh gerakan dengan gemulainya, tetap saja aku tak paham, tak bisa mengikuti, apalagi mengimbangi. Dan ini bukan karena aku tak belajar atau memperhatikan. Dari privat hingga slow motion, semua sudah kucoba. Namun tetap, setiap tambah satu gerakan, hilang pula ke-reflek-an tubuhku melakukan gerakan sebelumnya. Betapa payahnya.!
Dari sinilah aku lalu paham. Tentang bagaimana bisa seseorang dengan mudahnya lupa materi ajar yang barusaja diterangkan. Tentang seseorang yang hampir bisa dikatakan ‘tidak ada hasilnya’ meski telah berhari-hari ia belajar. Tentang bagaimana satu kaidah belum juga bisa hafal di luar kepala meski telah berpuluh kali mengulang. Tentang betapa berat fikir kita mencerna tak peduli berpuluh orang mengatakan ini gampang. Oh Allah, ternyata begini rasanya.

Lima, enam tujuh delapan
Pelatih kami menambah satu gerakan lagi. Orang-orang di sekitarku merasa belum panas sedikitpun, namun keringat sudah sejak tadi mengucur di leherku. Mataku terpaku memperhatikan diiringi gerak tubuhku yang berusaha mengikuti. Sementara otakku tak habis pikir, bagaimana bisa dua tangan, dua kaki, dan kepala dikendalikan di waktu yang bersamaan ?!?! dan lagi, tak peduli aku tetap tak bisa, tak peduli tak akan ada banyak yang berubah, aku terus mencobanya.
Lagi-lagi aku tersentak. Oh. Ini dia. Kenapa mereka yang susah dalam materi tak kunjung lelah, tak pernah berhenti belajar, meski ia tahu, tak akan ada yang banyak berubah.

Ayo, semangat. Ini gerakan terakhir. Lima, enam, tujuh delapan.
Sebagian besar dari kami sudah mulai bosan. Tapi aku tetap semangat. Tak sedikitpun rasa malu, capek, pun sesal meski aku tak bisa dengan baik mengikuti seluruh gerakan. Ya, karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku mampu. Aku memang tak bisa mengikuti seluruh gerakan itu, tapi setidaknya aku bisa mengeluarkan keringat pagi ini _dan ini esensinya. Karena aku tahu, aku tak sia-sia. Seperti ember bocor yang dipakai untuk menampung air. Terlihat tak berguna memang, tapi toh air-air itu bisa membuat si ember bersih.         
Oh. Ternyata ini rahasianya. Kenapa mereka yang tak bisa meraih nilai tinggi, meski dengan usaha maksimal mereka, tak pernah sedikitpun merasa kecewa pun menyesal. Karena mereka tahu, usaha mereka tak akan pernah sia-sia. Karena hakikatnya, substansinya memang bukan terletak pada nilai, melainkan proses.
Oh Allah, terima kasih. Dengan ini aku belajar dan paham.

Jumat, 19 Agustus 2016

#mereka adalah kita

Musholla itu tidak luas, namun banyaknya penduduk kampung yang rutin menyambanginya tiap kali waktu sholat tiba, memberi kesan bahwa bangunan kecil nan sederhana itu begitu hidup. dan bersahaja.

"wa laqod zayyannas samaa'ad dun_ya bi mashoobiiha..."
Lantunan ayat-ayat Alqur'an yang jauh dari fasih itu terdengar begitu merdu di telinga kami. Malam ini, seperti pekan-pekan sebelumnya, aku dan seorang kawan menyambangi musholla itu, mendiktekan ayat-ayat Allah di depan para jama'ah. Keutamaan surat Al-Mulk yang baru saja ku paparkan menambah semangat para jama'ah untuk menyimak.
Kajian pekanan selepas Maghrib ini telah berjalan hampir satu tahun, jama'ah kami tak banyak, hanya segelintir ibu-ibu (atau mbah-mbah lebih tepatnya) yang berasal dari sekitar musholla. Namun guratan-guratan keriput dan mata-mata lelah mereka tak sebanding dengan tekad dan semangat mereka mempelajari Alqur'an, terlebih saat lisan-lisan kaku itu berusaha mengikuti bacaan yang ku perdengarkan. 
 
Sejujurnya, tak jarang kami merasa ogah tiap kali jadwal pakanan ini tiba. Namun, senyum-senyum tulus dan wajah-wajah sumringah yang menyambut kami sesampai kami di musholla itu melahap habis rasa ogah kami. Berganti dengan semangat dan rasa ingin berbagi yang membara.

Dan aku belajar, bahwa
tak ada rasa yang tak berbalas. dengan apa kita mengutarakannya, dengan itu pula seseorang menerimanya.
entah saat kita menulis, berbicara, atau menepuk pundak seseorang. 
kalimat sederhana, bahasa yang biasa, bahkan tepukan ringan, akan berbeda maknanya jika ianya berasal dari ketulusan.
dan yakinlah, energi yang kita ingin bagi melalui hal-hal kecil itu, akan tersampaikan pada siapa saja yang menerimanya.

seperti energi yang senantiasa diberikan oleh para mbah yang bisa melenyapkan ogah kami, dan mengajak kami untuk berbagi senyum yang sama.

# T_T

Wahai Robb, selamatkanlah penduduknya dan lindungilah tempat masuk dan keluar mereka
Jagalah negeri-negeri kaum muslimin dari segala keburukan dari kanan dan kiri mereka
Mereka adalah orang-orang lemah… tidak ada mereka miliki selain Engkau ya Allah dalam setiap bencana
Mereka selalu berpegang teguh kepada agama-Mu dan darah mereka menjadi wewangian di setiap jengkal tanah
Mereka mengangkat telapak tangan seraya merendahkan diri di setiap kesusahan dan kegoncangan
Wahai Robb jagalah kehormatan dan jiwa mereka dari setiap kejahatan pembunuh

Rabu, 03 Agustus 2016

#putih abu


Tangis biarkan ia ada, memadu simpul tawa
Kisah kasih persahabatan kita
Biarkan, cerita itu ada
Sembari kamu bisa, slalu dalam ridho-Nya
Bila masanya belum tiba, aku kan slalu ada
Kita untuk slamanya
_20913, 3A

#gila tabdzir

Semua umat muslim tau, bahwa di Alqur’an sudah jelas-jelas dijelaskan,
“Sesungguhnya orang-orang yang tabdzir adalah kawannya setan, dan setan adalah kufur terhadap Rabbnya.”
Ya, ini tentang kemubadziran.
Jika ini menyangkut pribadi, maka itu jelas. Sang pelaku lah objek ayat tadi.
Namun, berkali aku dipusingkan. Bagaimana jika itu terjadi dalam suatu komunitas?
Di pesantren misalnya.
Bagaimana jika ada banyak nasi yang terbuang, sayur yang tak termakan, dan lauk yang terabaikan, hanya karena tak cocok pada menu itu?
Bu dapur kah yang menjadi tersangka ?
Atau yayasan yang membelanjakan ?
Atau dosa itu menjadi tanggungan bersama seluruh penghuni pesantren ?!
Sungguh, aku tak tahu, dan memang belum mencari tahu.
Namun hematku, setidaknya untuk saat ini,
Apapun yang disediakan oleh dapur, itu adalah untukku, untuk kita, sebagai santri
Dan pada masakan itu, kita punya hak, sekaligus kewajiban untuk memakannya, apapun itu, selama baik
Maka, demi memenuhi kewajibanku, kewajiban kita, demi pertanggung jawaban kita di sisi Nya
Meski mungkin tak bisa sepenuhnya meghilangkan tabdzir yang kerap kali terjadi, tapi setidaknya aku, kita, telah mengambil yang menjadi hak kita, sekaligus melakukan kewajiban kita disana
Dan sisanya, semoga Allah mengampuni.