Seorang saudagar berkata pada seluruh
anggota keluarganya,
“Aku akan
memberikan separuh dari harta warisanku,” saudagar diam sejenak, seluruh
keluarga bersorak. “..kepada seseorang yang rela menemaniku selama 40 hari di
dalam kubur saat aku mati nanti..” lanjut saudagar, membungkan seluruh tawa
keluarganya.
Satu menit, dua
menit. Tak ada yang bersedia. Semua bungkam. Ini hal yang mustahil.
“Kami akan
mengurusi pemakamanmu dan mengiringi jenazahmu, tapi tak mungkin kami
menemanimu di alam kubur..” ujar salah satu dari mereka. Yang lain mengiyakan.
“Oke, berarti kalian
tidak ada yang berhak atas setengah harta warisanku..” kata saudagar.
Beberapa waktu
kemudian, sang saudagar meninggal. Seluruh keluarga, kerabat, dan koleganya
melayat hingga peristirahatan terakhir. Namun, tak ada satupun dari mereka yang
tertarik untuk menemaninya selama 40 hari meski dengan itu ia berhak atas
setengah kekayaannya.
Namun, tiba-tiba
seorang datang, seorang tukang kayu miskin. Tergopoh-gopoh ia berlari,
berteriak,
“Tunggu ! Aku
bersedia menemani saudagar ini selama 40 hari. Izinkan aku masuk ke liang ini. Dan
setelah itu, aku berhak mendapat setengah dari hartanya.”
Keluarga menyetujuinya.
Mereka membersamakan si tukang kayu dengan sang saudagar. Tak lama, mereka
mulai meninggalkan tanah pekuburan.
Di samping
saudagar si tukang kayu duduk. Lalu kemudian sesosok mendekat. Ia paham, itu
malaikat yang akan menanyai si saudagar. Ia pun beringsut dari tempatnya.
Namun agaknya,
bukan si saudagar yang didatangi. Tapi dia. Dia, si tukang kayu.
“Kenapa kau
kesini ?” tanya sosok itu, geram. Ia pun menjelaskan maksudnya, takut-takut.
“Apa harta yang
kau punya di dunia ini ?” lanjut sosok itu.
“Sungguh ! Aku
tidak memiliki apapun kecuali sebuah kapak. Tak ada yang lain.”
Lalu sosok itu
pergi.
Hari kedua, ia
datang lagi.
“Apa yang kau
lakukan dengan kapak itu ?”
“Aku
menggunakannya untuk menebang pohon di hutan, untuk kemudian aku jual kayunya.”
Dan sosok itu,
pergi.
Hari ketiga, “Apa
kau tahu milik siapa pohon yang telah kau tebang itu ?”
“Itu pohon hutan.
Semua orang bebas memanfaatkannya.”
Hari berlalu,
minggu berganti. Namun sosok itu terus saja mendatanginya, dan masih saja
bertanya soal kapak itu. Setiap hari.
“Apa kau adil
dalam menjualnya kepada manusia ? Apakah potongan-potongan kayumu sama ?”
“Aku tidak tahu.
Aku hanya mengira-ira. Tidak mungkin sama persis.”
Hari ke-39, masih
saja ia bertanya mengenai kapak tersebut.
Esoknya, inilah
hari yang ia nanti. Pintu kubur dibuka. Orang-orang menyambutnya, membawakan
harta yang djanjikan padanya.
Namun, saat pintu
terbuka, ia lari, sejauh-jauhnya. Tak pedulikan orang-orang yang penasaran akan
ceritanya.
“Aku sudah tak menginginkan
lagi harta itu. Aku sungguh tak mau memiliki apapun lagi di dunia ini,”
jeritnya di sela pelariannya.
Di rumah,
istrinya menunggu tak sabar. Namun rupanya dengan tangan kosong ia pulang.
“Wahai suamiku,
kemana harta yang dijanjikan itu ?” tanyanya.
“Istriku, jangan
pernah lagi kau mengharapkan harta apapun. Sungguh. Aku tak mau lagi harta itu.
Sebuah kapak yang kita miliki saja tak selesai penghakimannya dalam waktu 40
hari, bagaimana pula jika harta-harta itu ?” ia menangis, takut.
Allahumma
urzuqna rizqon thoyyiba...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar