Minggu, 07 Februari 2016

#40 hari bersama mayat


Seorang saudagar berkata pada seluruh anggota keluarganya,
“Aku akan memberikan separuh dari harta warisanku,” saudagar diam sejenak, seluruh keluarga bersorak. “..kepada seseorang yang rela menemaniku selama 40 hari di dalam kubur saat aku mati nanti..” lanjut saudagar, membungkan seluruh tawa keluarganya.
Satu menit, dua menit. Tak ada yang bersedia. Semua bungkam. Ini hal yang mustahil.
“Kami akan mengurusi pemakamanmu dan mengiringi jenazahmu, tapi tak mungkin kami menemanimu di alam kubur..” ujar salah satu dari mereka. Yang lain mengiyakan.
“Oke, berarti kalian tidak ada yang berhak atas setengah harta warisanku..” kata saudagar.
Beberapa waktu kemudian, sang saudagar meninggal. Seluruh keluarga, kerabat, dan koleganya melayat hingga peristirahatan terakhir. Namun, tak ada satupun dari mereka yang tertarik untuk menemaninya selama 40 hari meski dengan itu ia berhak atas setengah kekayaannya.
Namun, tiba-tiba seorang datang, seorang tukang kayu miskin. Tergopoh-gopoh ia berlari, berteriak,
“Tunggu ! Aku bersedia menemani saudagar ini selama 40 hari. Izinkan aku masuk ke liang ini. Dan setelah itu, aku berhak mendapat setengah dari hartanya.”
Keluarga menyetujuinya. Mereka membersamakan si tukang kayu dengan sang saudagar. Tak lama, mereka mulai meninggalkan tanah pekuburan.

Di samping saudagar si tukang kayu duduk. Lalu kemudian sesosok mendekat. Ia paham, itu malaikat yang akan menanyai si saudagar. Ia pun beringsut dari tempatnya.
Namun agaknya, bukan si saudagar yang didatangi. Tapi dia. Dia, si tukang kayu.
“Kenapa kau kesini ?” tanya sosok itu, geram. Ia pun menjelaskan maksudnya, takut-takut.
“Apa harta yang kau punya di dunia ini ?” lanjut sosok itu.
“Sungguh ! Aku tidak memiliki apapun kecuali sebuah kapak. Tak ada yang lain.”
Lalu sosok itu pergi.
Hari kedua, ia datang lagi.
“Apa yang kau lakukan dengan kapak itu ?”
“Aku menggunakannya untuk menebang pohon di hutan, untuk kemudian aku jual kayunya.”
Dan sosok itu, pergi.
Hari ketiga, “Apa kau tahu milik siapa pohon yang telah kau tebang itu ?”
“Itu pohon hutan. Semua orang bebas memanfaatkannya.”
Hari berlalu, minggu berganti. Namun sosok itu terus saja mendatanginya, dan masih saja bertanya soal kapak itu. Setiap hari.
“Apa kau adil dalam menjualnya kepada manusia ? Apakah potongan-potongan kayumu sama ?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya mengira-ira. Tidak mungkin sama persis.”
Hari ke-39, masih saja ia bertanya mengenai kapak tersebut.
Esoknya, inilah hari yang ia nanti. Pintu kubur dibuka. Orang-orang menyambutnya, membawakan harta yang djanjikan padanya.
Namun, saat pintu terbuka, ia lari, sejauh-jauhnya. Tak pedulikan orang-orang yang penasaran akan ceritanya.
“Aku sudah tak menginginkan lagi harta itu. Aku sungguh tak mau memiliki apapun lagi di dunia ini,” jeritnya di sela pelariannya.
Di rumah, istrinya menunggu tak sabar. Namun rupanya dengan tangan kosong ia pulang.
“Wahai suamiku, kemana harta yang dijanjikan itu ?” tanyanya.
“Istriku, jangan pernah lagi kau mengharapkan harta apapun. Sungguh. Aku tak mau lagi harta itu. Sebuah kapak yang kita miliki saja tak selesai penghakimannya dalam waktu 40 hari, bagaimana pula jika harta-harta itu ?” ia menangis, takut.
Allahumma urzuqna rizqon thoyyiba...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar